Translate

Rabu, 21 Januari 2015

"Hidup Ini Lucu" Bagian 2



Dia memandangku sebentar, dia lemparkan senyum kecil. Entah kenapa senyumannya sangat lembut dan manis di sisi lain terlihat hampa dan sedih. Satu pertanyaan muncul dalam benakku, “kenapa?” motivasi itulah yang membuatku mencari – cari celah untuk mengenalnya. “sepertinya kamu setiap pagi selalu duduk di sini, menanti seseorang?” tanyaku. “tidak… tidak tahu, aku hanya merasa terikat di tempat ini. Begitu sadar aku sudah duduk di sini.” Aneh. ini manusia aneh.  Jangan – jangan dia dia korban tabrak lari, kemudian amnesia kemudian ditinggal disini. Atau jangan – jangan dia suka ngelindur kemudian dia jalan kesini dalam tidurnya. “aneh deh kamu, jangan bunuh diri lho ya? Kamu kaya putus asa gitu…” tak lama kemudian bus pun datang “oh ya, aku Dea, kalau aku boleh tahu namamu?” “oh dan aku juga bukan cabe – cabean” Dia hanya melirikku kemudian tersenyum dan kembali menatap langit. Aku bergegas menuju bus. “Teo.” Di depan pintu bus aku sedikit menoleh ke arahnanya “Teo..” ucapnya sekali lagi. Hal itu membuatku sangat senang. Bukan karena dia tidak amnesia, tapi karena dia nggak ngelindur. Kan gak elit banget kalo dia cerita ke temennya “hei bro, gua dapet kenalan cewek cantik dalam mimpi”. Jones ktitis.

                Hari berikutnya Teo masih duduk merenung di tempat yang sama. Tanpa basa – basi lagi aku langsung duduk di sampingnya dan memulai percakapan. Menurutku Teo orang yang cukup baik (paling tidak cukup baik untuk tidak menganggapku manusia spesies cabe). Waktu terasa begitu cepat, bus yang biasa kunaiki sudah tiba. Terasa begitu berat untukku untuk meninggalkannya. Mungkin tanpa kusadari muncul perasaan padanya. Aku tak ingin….. tak ingin… tak ingin…..........................................

…Dia bunuh diri (habis wajahnya melas abis). Coba bayangkan kalau dia bunuh diri, di akhirat dia akan bilang “Gua bunuh diri gara – gara liat wajah dea.” Kampet. Dia bicara seolah – olah wajahku sebuah dosa besar, terlaknat gitu. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk melindungi nama wajahku baikku. Yah sudahlah, bagaimanapun aku harus berangkat sekolah. Hari ini aku merasa dapat yang paling berharga dalam hidupku. Pelajaran yang akan ku ingat seumur hidup. Pelajaran bahwa Teo SEKOLAH DI SEKOLAH YANG SAMA DENGAN AKU. Yay. namun, kenapa dia tidak masuk sekolah ya? Apakah mungkin di D.O kemudian gak dapet sekolah lagi?

                Sesampainya di rumah, aku datang di saat yang gak tepat. Kali ini, perang di rumahku semakin dahsyat. Terasa bumi gonjang – ganjing, langit kelap – kelip. Mereka meributkan entah hal apa yang aku tak mengerti. Seingatku IQ cukup tinggi untuk memahami percakapan seseorang. Tanpa pikir panjang aku langsung melerai mereka. Namun apa yang terjadi? Aku malah menjadi bahan amukan mereka. “Sudah, ayah ibu! Kita dapat bicara baik – baik!” teriakku berharap dapat memulai genjatan senjata “Anak kecil tahu apa hah?” balas orang tuaku. Dar! Suara hatiku retak. Untuk selanjutnya yang ku dengar hanyalah suara aungan kucing kawin, tak paham lagi aku. Kurasa IQ ku langsung mlorot. Merasa tak dianggap, seketika itu aku langsung berlari menuju kamar. Aku gak akan nangis, daripada melakukan hal seperti itu, mendingan tidur dan melupakan masa kelam ini.




-to be continue-
 


Kamis, 08 Januari 2015

"Hidup Ini Lucu"


Hidup Ini Lucu

                Hari itu seperti biasa, aku berangkat ke sekolah sepagi mungkin. Berlari menuju Halte Bus. Saat inilah yang paling aku sukai, melihat birunya langit yang ternodai oleh teknologi manusia, berlari mengejar mentari pagi berharap dapat menggenggamnya suatu saat nanti, berlari dari ingatanku sendiri. Perjalanan dari rumah menuju Halte Bus membutuhkan waktu 10 menit dengan berlari. Seperti biasa keadaan masih sepi, hanya ada beberapa orang yang menunggu bus dengan kesibukannya masing – masing. Ada satu orang yang mencuri perhatianku, seorang laki – laki sebaya denganku, memakai kemeja hitam berlengan panjang yang tidak dikancingkan dengan kaus putih di dalamnya serta celana jeans. Dengan wajah yang sedikit pucat, pandangan lurus menatap birunya langit, merenung dan aku dapat melihat kesedihan di balik bola matanyanya yang kecoklatan itu. Aku tidak dapat memalingkan mata dari orang tersebut. Namun apa yang dapat dilakukan oleh gadis remaja biasa, aku merasa tak cukup cantik untuk menyapanya, aku hanya menatapnya dari kejauhan. Setelah menunggu cukup lama Bus pun dating dan aku bergegas menaikinya.

 

                Ada yang sedikit aneh pada hari ini. Aku tidak dapat fokus, aku tidak dapat menghapus sosok misterius di halte tadi pagi dalam ingatanku, seperti kutu air yang menempel pada kakiku minggu lalu. Waktu berlalu sangat cepat, aku merasa sekolah hari ini hanya mendapat sebuah ilmu sebesar biji bayam. Ketika pulang sekolah,  aku selalu berusaha menghabiskan waktu di sekolah. Aku tak ingin berlama – lama di rumah.Untungnya temanku, Helen dengan senyuman bak malaikat jatuh dari kolong jembatan surga yang selalu menemaniku. Akhirnya kami pulang ketika menjadi satu – satunya penghuni yang tersisa di sekolah. Pada perjalanan menuju rumah, lagu Beethoven symphony yang selalu diputar pada saat climax film horror terngiang – ngiang di kepalaku. Tuhan, ambil Aku tak ingin pulang! . dan benar saja, seperti biasa, ada ‘sedikit’ pertikaian antara ayah dan ibu. Teriak sana, teriak sini. Mereka langsung menutup mulut begitu aku membuka pintu dengan muka polos. Apakah mereka pikir aku tidak menyadarinya? Walau mereka melakukan genjatan senjata, tetap saja aku masih bisa merasakan hawa perang dingin yang mereka salurkan. Aku mencoba menutupi tanganku yang bergetar, dan melenggang menuju kamar tercinta, surga kecilku. Tempat di mana aku melupakan kenyataan ini.

 

                Keesokan harinya, seperti hari – hari yang lalu, aku berangkat pagi – pagi sekali. Kulihat dia lagi, orang misterius dengan pakaian yang sama melakukan hal yang sama di tempat yang sama. Hal itu terus berulang selama kurang lebih 4 hari. Kukumpulkan segenap keberanian prajurit 45’ yang kumiliki. Pelan – pelan aku mendatanginya, duduk didisampingnya. 15 menitpun berlalu dengan keheningan membuatku muak. “ehh… kakak mau kemana?” dia hanya diam membisu, matanya melirik sedikit kemudian pandangannya kembali pada langit yang selama ini dia pandangi. dag! suara hatiku dipenuhi rasa malu. “AKU BUKAN CABE – CABEAN YANG MENCOBA MENCARI MANGSA BARU! Teriak hati kecilku. “eh… kakak…?”. Lagi – lagi dia melakukan gesture menyebalkan itu lagi. OH – EM – JI!  AMBIL AKU TUHAN! Hufft… tenang… Kucoba berpikir positif “ni manusia budeg kali ya?” pikirku. Kucoba memulai pembicaraan lagi. Lagi – lagi gesture memuakkan itu lagi. YA AMPUN! AMBIL SAJA DIA TUHAN! JANGAN AKU! sekarang darahku naik keubun – ubun, tanganku reflex menjitak kepalanya. PLETAK! Dan alisnya bergetar, kupanjatkan seluruh puji syukur atas reaksi apapun yang ia lakukan. “Apaan sih? Sakit nih!” ucapnya sambil mengelus kepalanya. “haha… maafkan aku, kamu sih diajak ngobrol cuek terus.” Terjadi konflik batin dibalik tawa kecil ini seperti ; “gimana kalau dia menganggapku cabe – cabean kemudian jijik padaku kemudian menikamku dan membuang mayatku di toko – toko (?) terdekat.”

 

-to be continue?-



Hehe iseng - iseng tulis cerpen, memang tidak sempurna. Tapi, kuharap temen - temen dapat menerima bahkan menyukainya =D

- Apabila ada kelebihan kesalahan mohon maaf sebesar - besarnya (maklulah, cuma pemula)

" Teman yang baik adalah teman yang meninggalkan comment"

Hope You Enjoy It!